Senin, 06 Desember 2010

Pembelajaran Think-Pair-Share (TPS)

Pembelajaran TPS merupakan sebuah strategi pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman pada tahun 1981. Pembelajaran TPS dapat meningkatkan dan mendukung kemampuan berpikir siswa. Pembelajaran TPS juga dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa sehingga pembelajaran TPS juga efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa karena dapat melatih siswa untuk mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain. Dalam pembelajaran dengan strategi TPS, siswa dapat saling memberi bantuan, saling bekerja sama, dan saling berbagi pengetahuan-pengetahuan yang telah dimilikinya untuk mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan yang baru.
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran TPS menghendaki siswa untuk berpasangan. Pembelajaran TPS dapat meningkatkan kontribusi siswa karena siswa memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembelajaran. Untuk mencapai hasil yang maksimal, pembelajaran TPS harus menerapkan lima unsur pembelajaran kooperatif yakni sebagai berikut.
1.Positive interdependence (saling ketergantungan positif)
2.Personal responsibility (tanggungjawab perseorangan)
3.Face to face promotive interaction (interaksi promotif)
4.Interpersonal skill (komunikasi antaranggota)
5.Group processing (pemrosesan kelompok)
Kelima unsur di atas diperlukan untuk menunjang proses pelaksanaan pembelajaran TPS. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran TPS juga mengelompokkan siswa secara heterogen. Siswa dikelompokkan baik berdasarkan jenis kelamin, prestasi, minat, dan sebagainya. Pengelompokan secara heterogen tersebut dilakukan agar siswa dapat saling menghargai satu sama lain, dapat berbagi ide/gagasan, dan dapat saling mengintegrasikan pengalaman serta pengetahuan yang mereka miliki.

Ketika Matematika Bukan Lagi Sekedar “Menghitung”

Siapa yang tidak mengenal matematika? Mulai dari anak-anak, remaja sampai orang dewasa pun dapat dipastikan mengenal baik dengan matematika. Tetapi, apa yang mereka pikirkan jika mendengar “matematika”? mungkin jawaban yang mereka lontarkan kurang lebih,
“matematika itu ilmu hitung”
“matematika itu biasanya gurunya serius”
“matematika itu susah”
Dan sebagainya.
Mungkin sebagian dari pembaca berpendapat serupa jika mendengar “matematika”. Tidak dapat dipungkiri, matematika merupakan ilmu hitung. Tetapi, apakah matematika hanya bekisar pada “menghitung” saja?
Penggunaan KTSP sejak tahun 2006, menuntut siswa untuk memiliki kompetensi-kompetensi lain selain “menghitung”. Siswa dituntut untuk memiliki kompetensi “mendeskripsikan”, “menyebutkan”, “menggunakan”, “memahami”, “menentukan”, dan masih banyak kompetensi lainnya yang harus siswa kuasai. Hal tersebut diharapkan dapat memperbaiki performance siswa yang selama ini cenderung hanya mampu menghafalkan prosedur-prosedur untuk “menghitung” tanpa mengetahui makna tulisan-tulisan yang mereka tulis. Akibat lain dari penggunaan KTSP, salah satunya adalah pembelajaran yang berorientasi pada proses. Hal itu menyebabkan adanya tujuan-tujuan pembelajaran yang bukan lagi sekedar “menghitung”.

Make It Easy & Fun

Sekilas judul di atas terdengar ringan. Namun bagaimana jika kalimat tersebut ditujukan untuk guru-guru matematika yang rutinitasnya kurang lebih mendampingi siswa mempelajari matematika di sekolah? Apakah kalimat tersebut masih ringan, tidak hanya diucapkan tetapi juga diterapkan? Jawabannya mungkin dapat diterapkan se-“ringan” ucapannya atau mungkin sama sekali tidak dapat diterapkan.
Peran guru tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan di kelas. Sejak pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi(KBK) sampai penggunaan KTSP sekarang, peran guru di kelas diharapkan hanya sebagai fasilitator siswa saja karena baik KBK maupun KTSP mensyaratkan adanya kompetensi-kompetensi siswa yang muncul selama dan setelah pelaksanaan pembelajaran di kelas. Namun apakah peran guru sebagai fasilitator di kelas masih dapat dilakukan dalam pembelajaran matematika?
Pertanyaan tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi guru matematika yang selama ini terbiasa “mengajar” siswa di kelas secara klasikal. Minat dan motivasi siswa yang berbeda terhadap matematika merupakan salah satu kendala bagi guru matematika pada khususnya, untuk menjadi fasilitator yang baik bagi siswa-siswanya. Kendala minat dan motivasi siswa terhadap matematika tentu dapat diatasi jika guru memiliki kreativitas dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran di kelas.
Dengan kreativitas yang dimiliki, guru diharapkan mampu menyajikan konsep matematika yang rumit menjadi lebih mudah dimengerti oleh siswanya. Selain harus menyajikan konsep matematika yang mudah dimengerti oleh siswa, guru juga harus membuat siswa merasa “fun” mengikuti setiap proses pembelajaran yang telah dirancang.
Dengan “Make It Easy & Fun” diharapkan siswa akan “enjoy” untuk mempelajari matematika dan guru akan semakin tertantang untuk menjadi “sutradara” dan “aktor” yang baik dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran di kelas.

Jumat, 03 Desember 2010

Matematika, Sang Pencerah

Matematika merupakan ilmu visualisasi ide. Dengan adanya matematika, seseorang dapat memvisualisasikan idenya menjadi lebih mudah. Hal itu didukung dengan digunakannya simbol-simbol yang telah disepakati secara internasional dalam matematika. Seseorang yang memiliki ide tentang tata ruang sebuah kota misalnya, pasti melibatkan matematika karena dalam penataan ruang pasti menggunakan pola-pola yang mengandung simbol-simbol yang dapat memudahkan orang lain untuk memahami ide yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Mustahil jika ide yang dimiliki seseorang tersebut tidak menggunakan matematika sebagai sarana pemvisualisasian idenya agar mudah dimengerti oleh orang lain. Apa jadinya jika seseorang tersebut menggunakan satuan “fm” bukan “cm” dalam menuliskan skala, mungkin hanya orang tersebut dan Tuhan yang mengerti mengapa dia menggunakan satuan “fm”. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika matematika merupakan “Sang Pencerah” bagi ide-ide yang dimiliki manusia.

Ada Apa dengan Matematika?


“Ada Apa dengan Matematika?” merupakan judul yang menarik bagi saya sebagai penulis artikel ini. Mengapa demikian? Karena menurut saya, judul ini dapat menggambarkan sebuah realita yang sudah lama terjadi hampir di seluruh Negara yang ada di dunia. Realita yang dimaksud adalah kebanyakan dari orang yang pernah “bersentuhan” dengan matematika, menganggap matematika sebagai sesuatu yang “menyeramkan”. Mungkin anggapan itu bisa benar atau bisa juga salah.
    Matematika dilahirkan untuk memudahkan manusia dalam memvisualisasikan idenya tetapi mengapa kebanyakan dari kita justru membencinya bahkan kalau memungkinkan kita menginginkan matematika tidak beririsan dengan kehidupan kita. Matematika merupakan bahasa simbol yang digunakan untuk melatih pola berpikir. Disadari atau tidak, hal tersebut jelas sangat berguna bagi kehidupan manusia. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah  apa “penyebab utama” kebanyakan orang menganggap matematika sebagai sesuatu yang “menyeramkan”?
    Salah satu “penyebab utama” adalah cara menyajikan matematika itu sendiri. Jika seorang guru di sekolah menyajikan matematika sesuai dengan pengalaman belajar yang telah diperolehnya, maka siswa hamper bisa dipastikan akan menganggap matematika yang disajikan oleh gurunya tersebut “menyeramkan”. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya adalah karena terdapat kesenjangan pengalaman belajar yang dimiliki guru dengan pengalaman belajar yang dimiliki siswa. Kesenjangan pengalaman belajar tersebut lah yang dapat “mematikan” (lebai kayaknya...hehe) minat dan motivasi siswa untuk mempelajari matematika, yang pada akhirnya timbul lah anggapan bahwa matematika “menyeramkan”.